Monday, August 19, 2013

Sewa Menurut Hukum Islam (Ijarah)


Sewa menurut etimologi, ijarah adalah  (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut istilah dalam hukum Islam. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah
    Artinya:  “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asy-Syafi’iyah
  Artinya: “akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau  kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
Artinya: “menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”
Sewa menyewa artinya melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
  • Barang yang diambil  manfaatnya, harus masih tetap wujudnya sampai waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian,
  • Waktunya harus dapat diketahui dengan jelas, misalnya sehari, seminggu atau sebulan dan seterusnya,
  • Pekerjaan dan manfaat sewa-menyewa itu harus diketahui jenis, jumlah dan sifatnya serta sanggup menyerahkan. dan manfaat yang yang boleh disewakan adalah manfaat yang berharga,
  • Syarat ijab qabul serupa dengan syarat ijab qabul pada jual beli dengan tambahan menyebutkan masa waktu yang telah ditentukan.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

Sewa-menyewa disyariatkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil yang berdasarkan dari Al-Qur'an dan Al-Hadits serta ijma’ (kesepakatan para ulama).
a. Al-Qur’an
Artinya: "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (al-Qashash: 27)
Artinya: “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Ath-Thalaq: 6)
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Az-Zuhruf: 32)
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 233)
b. Al-Hadits
Artinya: Dan dari Abi Said Al Hudri Radiallahu Anha bahwasanya Nabi Sallahu Alaihi Wasallam berkata: siapa yang memperkerjakan buruh harus menetapkan berapa upahnya (HR Abd ar-Razzaq)
Artinya: Abu Hurairah ra. Mengatakan, Rasulullah saw. Bersabda: Allah Ta’ala berfirman: tiga macam orang yang menjadi lawanku pada hari kiamat:
1). Seorang yang memberi dengan menggunakan namaKu kemudian berkhianat
2). Seorang yang menjual orang merdeka lalu dia makan harganya
3). Dan orang yang memperkerjakan orang lain, kemudian setelah orang itu bekerja tidak dibayar ongkosnya (HR Muslim)
Artinya: Rasulullah saw. Berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya. (HR Bukhari)
c. ijma’ (kesepakatan para ulama).
Mengenai disyariatkan ijarah, semua umat bersepakat, tak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa), Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat, termasuk syarat-syarat ijarah, bukan rukun-rukunya, Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu:
a. Orang yang menyewa dan yang menyewakan, syaratnya adalah orang yang berakal, dengan kehendak sendiri, akan dipaksa, keadaan keduanya tidak bersifat mubadzir dan sudah dewasa.
b. Sewa, disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal: jenisnya, kadarnya, dan sifatnya. Misalnya menyewa rumah, harus jelas besarnya, letaknya, lama persewaanya, besar onglos persewaanya dan sebagainya.
c. Adanya ijab dan qabul. Sayarat-sayaratnya sama dengan syarat ijab qabul pada jual beli, hanya saja ijab qabul dalam ijarah harus menyebutkan waktu yang ditentukan

Sebagai sebuah transaksi umum. ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:
a. Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidain), Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh), menurut mereka, sewanya tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah. Namun mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz melakukan akad ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.
b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya untuk melakukan akad ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
c. Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan  berapa lama manfaat ditangan penyewa. Dalam masalah penentuan waktu sewa ini, ulama Syafi’iyah memberikan syarat yang ketat. Menurut mereka, apabila seorang menyewakan rumahnya selama satu ahun dengan harga sewa Rp. 150.000,- sebulan maka akad sewa menyewa batal, karena dalam akad seperti ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan harga sewa baru pula. Sedangkan kontrak rumah yang telah disepakati selama satu tahun itu, akadnya tidak diulangi setiap bulan. Oleh sebab itu, menurut mereka, akad sebenarnya belum ada, yang berarti ijarah pun batal (tidak ada). Disamping itu, menurut mereka, sewa menyewa dengan cara di atas, menunjukkan tenggang waktu sewa tidak jelas, apakah satu tahun atau satu bulan. Berbeda halnya jika rumah itu disewa dengan harga sewa Rp. 1.000.000,- setahun, maka akad seperti ini adalah sah, karena tenggang waktu sewa jelas dan harganya pun ditentukan untuk satu tahun. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad seperti itu adalah sah dan bersifat mengikat. Apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga Rp. 100.000,- sebulan, maka, menurut jumhur ulama, akadnya sah untuk bulan pertama, sedangkan untuk bulan selanjutnya apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima sewa seharga Rp. 100.000,- maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama, sebagaimana halnya dalam bai’ al mu’athah (jual beli tanpa ijab dan qabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli),
d. Obyek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak tercatat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya apabila seseorang menyewa rumah, maka rumah itu akan langsung ia terima kuncinya dan langsung boleh ia manfaatkan. Apabila rumah itu masih berada ditangan orang lain, maka akad ijarah hanya berlaku sejak rumah itu boleh diterima dan ditempati oleh penyewa kedua. Demikian juga halnya apabila atap rumah itu bocor dan sumurnya kering, sehingga membawa mudarat bagi penyewa. Dalam kaitan ini, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa pihak penyewa berhak memilih apakah akan melanjutkan akad itu atau membatalkannya.
e. Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka. Menurut mereka, obyek sewa menyewa dalam contoh di atas termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqh menyatakan:
Artinya: Sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh
f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa. Terkait dengan masalah ini juga, ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal menyewa/menggaji seseorang untuk menjadi mu’azin (yang bertugas mengumandangkan azan pada setiap waktu di suatu masjid), menggaji imam shalat, dan menggaji seseorang yang mengajarkan al-Qur’an. Ulama Hanafiyah  dan Hanabilah mengatakan tidak boleh atau haram hukumnya menggaji seseorang menjadi muazin, imam shalat, dan guru yang mengajarkan al-Qur’an, karena pekerjaan seperti ini, menurut mereka, termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri pada Allah), dan terhadap perbuatan taat seseorang tidak boleh menerima gaji. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari ‘Amr ibn al-‘Ash yang mengatakan:
Artinya: Apabila salah seoarang di antara kamu menjadikan muazin (di masjid), maka janganlah kamu minta upah atas azan itu. (HR at-Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, dan Nasa’i).
Akan tetapi, ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menyatakan bahwa boleh menerima gaji dalam mengajarkan al-Qur’an, karena mengajarkan al-Qur’an itu merupakan pekerjaan yang jelas. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw yang menjadikan hafalan al-Qur’an seseorang menjadi mahar, sebagaimana yang terdapat dalam sabda beliau yang berbunyi:
Artinya: Rasulullah saw menikahkan seorang lelaki dengan mahar ayat-ayat al-Qur’an yang ada (hafal) padanya. (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad ibn Hanbal).
g. Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian
h. Sewa dalam akad ijarah harus jelas tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa khamer dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai harta dalam Islam.
i. Ulama Hanafiyah mengatakan sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. Misalnya, dalam sewa menyewa rumah. Jika sewa rumah dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka ijarah seperti ini dibolehkan.

Akad ijarah akan berahir apabila tidak memenuhi beberapa kriteria diantaranya:
a. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berahir. Apabila yang disewa itu rumah, maka rumah itu dikembalikan pada pemiliknya
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad ijarah, meneurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak

--------------------------------------------------------
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang, Karya Toha Putra, 1978
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, Juz 3, Semarang, CV. Asy-syifa’, 1990
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 13, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Ibnu  Hajar al Asqalany, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Surabaya, al Hidayah, tt
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, Surabaya: Terbit Terang, 2005
Jalaludin as Suyuti, al- Asybah wa Nadhdor Jus 2, Bairut: Lebanon, tt
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

No comments:

Post a Comment