Wednesday, August 28, 2013

Utang Piutang Dalam Islam (Qard)


1. Pengertian Utang Piutang
Utang piutang dalam istilah fikih disebut dengan qard. Secara etimologi qard berasal dari kata qaradha yang sinonimnya qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtarid).
Sedangkan pengertian qard secara istilah (terminologi) para ulama dan pakar berbeda pendapat dalam mendefinisikannya antara lain:
a. Menurut Hanafiyah
 اَلْقَرْضُ هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالِ مِثْلِيٍّ لِتَتَقَا ضَاهُ, اَوْ بِعِبَارَةٍ اُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مَخْصُوْصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Qard adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal misli untuk kemudian dibayar atau dohsikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qard adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal misli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimaya.
b. Menurut Hanabilah
 اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَهُ
Qard adalah memberikan harta kepada orang yang memafaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
c. Menurut Syafi’iyah
 اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِ الْمُقْرَض
Syafi’iyah berpendapat bahwa qard dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).
d. Menurut Sayid Sabiq qard adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqrid) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
e. Menurut  Malikiyah, qard adalah menyerahkan sesuatu yang bernilai harta kepada orang lain untuk mendapatkan manfaatnya, di mana harta yang diserahkan tadi tidak boleh diutangkan lagi dengan cara yang tidak halal, (dengan ketentuan) barang itu harus diganti pada waktu yang akan datang, dengan syarat gantinya tidak beda dengan yang diterima.
f. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, al-qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa utang piutang adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak, di mana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak ke dua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama. Pihak pertama disebut orang yang berpiutang, sedangkan pihak kedua disebut orang yang berutang.

2. Dasar Hukum Utang Piutang
a. Dasar hukum utang piutang dalam al-Qur’an
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.Ayat di atas berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qard (memberi utang) kepada orang lain dan barang siapa yang mau melakukan perbuatan qard tersebut, maka imbalannya adalah pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
b. Dasar hukum utang piutang dari hadis:
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنّ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَ قَتِهَا مَرَّةً
Dari Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: Tidak ada seorang muslim yang member pinjaman kepada muslim yang lain dua kali keuali seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah dan Ibn Hibban)
Hadis| di atas menjelaskan bahwa memberikan utang sebanyak dua kali, maka nilainya sama dengan memberikan sedekah sekali.
c. Dasar hukum utang piutang dari Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa utang piutang boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dan pertolongan orang lain. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatika segenap kebutuhan umatnya.

3. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Seperti halnya jual beli, rukun qard juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qard adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun qard adalah:
a. ‘Aqid, yaitu muqrid dan muqtarid
b. Ma’qud alaihi, yaitu uang atau barang
c. Shigat yaitu ijab dan qabul
1) Syarat ‘aqid
Untuk ‘aqid, baik muqrid maupun muqtarid disyaratkan harus orang dibolehan melakukan tasharruf atau memiliki ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qard tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur atau orang gila. Syafi’i memberikan persyaratan untuk muqrid, antara lain:
  • Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
  • Mukhtar (memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtarid disyaratkan harus memiliki Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti: dewasa, berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa ada paksaan.
2) Syarat ma’qud ‘alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menjadi objek akad dalam qard sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat) serta qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Atau dengan kata lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh juga dijadikan objek qard.
Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud ‘alaih hukumnya sah dalam mal misli, seperti barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang ditimbang (mauzunat), barang-barang yang dihitung (ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang bisa diukur dengan meteran (mazru’at). Sedangkan barang-barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya di pasaran (qimiyat) tidak boleh dijadikan objek qard, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.
3) Syarat dalam Shigat (Ijab dan Qabul)
Qard adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama halnya dengan akad jual beli dan hibah.
Shigat ijab bisa dengan menggunakan lafal qard (utang atau pinjam) dan salaf  (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan Engkau harus mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar. Penggunaan lafal salaf untuk qard  didasarkan kepada hadis Abu Rafi’:
وَعَنْ اَبِيْ رَافِعِ قَاَل: اِسْتَلَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَألِهِ وَسَلَّمَ بِكْرًا فَجَاَءَتْهُ إِبِلُ الصَّدَقَةِ فَاَمَرَنِي أَنْ اَقْضِيَ الرَّجُلَ بِكْرَهُ, فَقُلْتُ: إِنِّي لَمْ أَجِدْ فِي اْلإِبِلِ  إِلَّاجَمَلًا خِيَارًا رُبَاعِيًا فَقَالَ:أَعْطِهِ اِيَاهُ فَإِنَّ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ اَحْسَنَهُمْ قَضَاءً.
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berutang seekor unta perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk memebayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: saya tidak menemukan di dalam unta-unta hasil zakat itu kecuali unta pilihan yang berumur enam masuk tujuh tahun. Nabi kemudian bersabda: berikan saja kepadanya unta tersebut, karena sesungguhnya sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.”


4. Berakhirnya Utang Piutang
Utang piutang dinyatakan berakhir atau selesai apabila waktu yang disepakati telah tiba dan orang yang berutang telah mampu melunasi utangnya. Dalam keadaan yang demikian, maka seseorang yang berutang wajib menyegerahkan melunasi utang tersebut. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, dalam QS al-Isra’ ayat 34: 
Yang artinya: Dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa janji adalah suatu kewajiban yang yang harus disegerahkan untuk diwujudkan apabila telah mencapai waktunya, karena setiap janji akan dimintai pertanggungjawannya baik di dunia dan di akhirat. Mengenai masalah utang piutang, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut:
a. Pemberian perpanjangan waktu pelunasan utang
Apabila kondisi orang yang telah berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka orang yang berpiutang dianjurkan memberinya kelonggaran dengan menunggu sampai orang yang berpiutang mampu untuk membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 280:
Yang artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dalam hadis dijelaskan pula bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَرَّهُ اَنْ يُنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كَرْبِ يَوْمِ الْقِيَامَةَ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْيَضَعَ عَنْهُ
Barang siapa ingin diselamatkan oleh Allah dari kesusahan hari kiamat, hendaklah dia melapangkan orang yang dalam kesulitan atau membebaskan utangnya.
b. Sesuatu yang dikembalikan dalam  utang piutang
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, utang piutang baru berlaku dan mengikat apabila barang atau uang telah diterima. Apabila seseorang meminjam sejumlah uang dan ia telah menerimanya maka uang tersebut menjadi miliknya, dan ia wajib mengembalikan dengan sejumlah uang yang sama (misli), bukan uang yang diterimanya.
Menurut Malikiyah, utang piutang hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ariyah, berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad (ijab qabul), walaupun muqtarid belum menerima barangnya. Dalam hal ini muqtarid boleh mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut misli atau gair misli, apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang tersebut telah berubah maka muqtarid wajib mengembalikan barang yang sama.
Menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam utang piutang berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya menurut Syafi’iyah, muqtarid mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal misli. Apabila barangnya mal qimi maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya. Sedangkan menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditakar (makilat) dan yang ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqaha, dikembalikan dengan barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat berutang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.
Jadi dapat disimpulkan bahwa utang harus dibayar dengan barang yang sama. Hal ini sesuai dengan Hadis Rasulullah SAW, dimana beliau melarang pengembalian utang perak dengan emas.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
Rasulullah SAW melarang pengembalian utang perak dengan emas.
c. Melebihkan pembayaran
Melebihkan pembayaran dari jumlah utang yang diterima dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kelebihan yang tidak diperjanjikan
Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang tanpa adanya perjanjian sebelumnya, maka kelebihan tersebut boleh atau halal bagi yang berpiutang, dan merupakan kebaikan bagi yang berutang. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: اِسْتَقْرَضَ رَسُوْلُ اللّهِ ص م .سِنَّا, فَاَعْطَى سِنَّا خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ, وَ قَالَ: خِيَارُ كُمْ اَحَا سِنُكُمْ قَضَا ءً
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW. Pernah pinjam unta, kemudian ia membayar dengan unta yang lebih baik dari pada unta yang dipinjam, lalu ia bersabda: “Sebaik-baik diantara kamu ialah yang lebih baik dalam membayar pinjaman”. (HR. Ahmad, Tirmidhi dan Tirmidhi mengesahkannya).
2) Kelebihan yang diperjanjikan
Adapun kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh pihak yang berutang kepada pihak berpiutang didasarkan kepada perjanjian yang telah mereka sepakati, maka hal ini tidak boleh dan haram bagi yang berpiutang untuk menerima kelebihan itu.
Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِّبَا
Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang) adalah riba.


5. Utang Bersyarat
Utang bersyarat adalah suatu akad utang yang disertai dengan syarat-syarat tertentu. Dan syarat-syarat itu ditentukan oleh orang yang berpiutang, sedangkan orang yang berutang berkewajiban memenuhi syarat tersebut. Apabila orang yang berutang merasa keberatan dengan syarat yang diberikan oleh orang yang berpiutang, maka sebelum perjanjian itu disepakati, pihak yang berutang boleh membatalkannya.
Pada dasarnya pemberian syarat dalam perjanjian utang piutang adalah boleh, selama syarat itu tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat islam, misalnya mensyaratkan untuk mencatat utang tersebut atau memberikan barang jaminan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 282:
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Menurut ayat ini, dalam utang piutang diperlukan surat utang sebagai bukti untuk menghindari hal-hal yang mungkin timbul di kemudian hari.
Mengenai masalah utang bersyarat ini, keempat imam mazhab memberikan beberapa ketentuan, antara lain:
a. Hanafiyah memakhruhkan seseorang yang berutang sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh manfaat tertentu bilamana itu disyaratkan dalam akad. Misalnya seseorang mengutangkan gandum yang kotor kemudian mensyaratkan agar orang tersebut untuk membayarnya dengan gandum yang bersih..
b. Malikiyah berpendapat bahwa haram dalam utang piutang menentukan syarat untuk mendapatkan manfaat, misalnya mensyaratkan membayar utang dengan hewan yang sehat padahal hewan yang diutangkan lemah.
c. Hanabilah menyebutkan bahwa dalam utang piutang tidak boleh mensyaratkan sesuatu untuk mendapatkan manfaat tambahan bagi yang mengutangkan atau dengan syarat memberikan hadiah dan lain sebagainya.
d. Sedangkan Syafi’i memberikan beberapa ketentan dalam hal utang piutang bersyarat ini, yaitu:
1) Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk  mengambil manfaat yang digunakan untuk kepentingan orang yang berpiutang, maka dalam hal ini akad utangnya rusak dan hukum utangnya tidak sah atau haram.
2) Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil manfaat untuk kepentingan orang yang berutang, maka dalam hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah.
3) Apabila syarat yang diberikan hanya digunakan untuk kepercayaan, seperti disyaratkan bagi pihak yang berutang untuk memberikan sertifikat tanah sebagai jaminan utangnya kepada orang yang berpiutang, maka yang demikian ini dapat dibenarkan menurut hukum islam.
Dengan demikian utang piutang bersyarat dapat dibenarkan dalam hukum islam, apabila syarat tersebut tidak mengambil manfaat untuk kepentingan salah satu pihak, seperti mensyaratkan adanya barang jaminan yang dapat di pegang apabila terjadi utang piutang.

----------------------------------------------
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II, Penerjemah Chatibul Umam dkk, judul asli al-Fiqh ‘Ala al-Mazahibil Al-Arba’ah, Jil. 6, Jakarta: Darul Ulum Press, 1992
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010
Ali Fikri, Al-Muamalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, Mesir: Mushthafa Al-Babiy Al-Halabiy, 1356 H
Al-Hafid Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azim Al-munziri, Ringkasan Shahih Muslim, Bandung: Mizan, 2002.
Al-Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syarfu Nawawi-, Shahih Muslim bi Syarah, Beirut: Dar al-Khair, 1419 H/1998 M
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana,2003
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandng: CV. Pustaka Setia, 2000
Hafidz bin Abdullah, Muhammad bin Yazin al-Ghazali, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Dar al kutub al-ilmiah, Beirut, Lebanon, 2007 H / 275 M
Muhammad Bin Ali Asy-Syaukani, Terjemahan  Nail Al-Authar, Jilid 4, Penerjemah A. Qadir Hassan dkk, judul asli Nail al-Authar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,  Penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, judul asli Fiqh al-Sunnah, Jil. 12, Bandung: PT. Alma’arif, 1987
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2007
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie  al- Kattani, dkk, judul asli al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,  Jil. 5, Jakarta, Gema Islami, 2011
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Terjemah  Fatul Mu’in, Penerjemah: Aliy As’ad, judul asli Fatul Mu’in, Jil. 2, Yogyakarta: Menara Kudus,1979
Departemen Agama,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002

1 comment:

  1. Saya ingin memberikan semua kemuliaan kepada Allah SWT untuk apa yang Dia gunakan untuk dilakukan Ibu Rossa dalam hidup saya, nama saya Mira Binti Muhammad dari kota bandung di indonesia, saya seorang janda dengan 2 anak, suami saya meninggal dalam kecelakaan mobil dan sejak saat itu hidup menjadi sangat kejam bagi saya dan keluarga saya dan saya telah mencoba beberapa kali untuk mendapatkan pinjaman dari bank-bank di Indonesia dan saya ditolak dan ditolak karena saya tidak memiliki agunan dan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank dan saya sangat sedih
    Pada hari yang penuh pengabdian ini saat saya menjelajahi internet, saya melihat kesaksian Nyonya Annisa tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari Ibu Rossa dan saya menghubungi dia untuk bertanya tentang perusahaan pinjaman ibu Rossa dan bagaimana benar pinjaman dari ibu Rossa dan dia memberi tahu saya itu benar dan saya menghubungi Ibu Rossa dan setelah mengajukan permohonan pinjaman saya dan pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam 24 jam saya mendapatkan uang pinjaman saya di rekening bank saya dan ketika saya memeriksa akun saya, uang pinjaman saya masih utuh dan saya sangat senang dan saya telah berjanji bahwa saya akan membantu untuk memberi kesaksian kepada orang lain tentang perusahaan pinjaman ibu rossa, jadi saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada siapa saja yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Rossa melalui email: rossastanleyloancompany@gmail.com dan Anda dapat juga hubungi saya melalui email saya: mirabintimuhammed@gmail.com untuk informasi dan juga teman-teman saya Annisa Barkarya melalui email: annisaberkarya@gmail.com

    ReplyDelete