Friday, September 20, 2013

Prosedur Istimbat Hukum


A. Metode Bayani
Metode Bayani adalah suatu upaya penetapan hukum didasarkan atas pemahaman makna nash. Pemahaman tersebut didasarkan pada kaidah-kaidah pembahasan dalam bahasa arab. Harfiyah membagi dalaah menjadi dua macam:
a. Dalalah ghoiru lafdiyah
Hanafiyyah membagi dalalah ghairu lafdiyah menjadi empat macam, mereka menamakan dengan “bayan darurat” (penjelasan secara darurat). Keempat macam dalalah itu memberi penjelasan dengan cara sukut atau diam.
  • Jika lafad yang disebut mengandung pengertian pada suatu yang didiamkan (yang tidak disebut dalam kalimat itu ).
  • Diamnya seseorang, padahal tugas orang tersebut harus menjelaskan mutlak dalam kejadian itu.
  • Diamnya seseorang dianggap sama perkataanya, untuk mencegah terjadinya penipuan atau kesamaran.
  • Didiamkan atau tidak disebutkan jumlah bilangan tertentu atau sudah menadi kebiasaan agar pembicaraan atau kalimat tidak terlalu panjang.
b. Dalalah lafdiya
  • Ungkapan nash adalah makna atau pengertian yang segera dapat difahami dari bentuk nash itu sendiri, baik yang dimaksud pengertian asli atau tidak.
  • Isyarat nash adalah makna atau pengertian yang tidak segera dapat difahami dari lafadnya dan tidak dimaksudkan oleh susunan kata, akan tetapi hanya makna lazim (biasa) dari makna yang segera dapat difahami dari kata-katanya.
  • Petunjuk nash adalah makna atau pengertian yang dapat difahami dan rasionalnya.
  • Kehendak nash adalah makna atau pengertian, yang mana kalimat itu tidak dapat dimengerti kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian tersebut. Jadi lafadnya tidak ada, akan tetapi kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu.
Sedangkan menurut imam syafi’i membagi dalalah menjadi dua macam:
a. Dalalah manthuq
Dalalah mantuq adalah petunjuk lafad yang sama dengan arti redaksi lafad itu sendiri. Dalalah mantuq dibagi menjadi dua:
  • Dalalah mantuq sharih; yaitu petunjuk lafad yang timbul dari penetapan lafad itu sendiri walaupun secara tersembunyi,
  • Dalalah mantuq ghairu sharih; yaitu petunjuk lafad sesuai dengan kelaziman yang berlaku.
b. Dalalah mafhum
Dalalah mafhum adalah petunjuk lafad kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafad itu karena memang didiamkan baik dalam hal penetapan hukum maupun meniadakan hukum. Dalalah mafhum terbagi menjadi dua macam:
  • Mafhum mu’afaqah; arti yang ditunjuk oleh lafad dama dengan pengertian lafad yang didiamkan, baik dalam penyebutan maupun hukumnya.
  • Mafhum mukhalafah; arti yang ditunjuk oleh lafad bertentangan dengan pengertian lafad yang didiamkan. Mafhum mukhalafah disebut juga dailul khittah.
Disamping itu terdapat kaidah-kaidah lain menurut ulama’ ushul:
a. Al-wadih al-Dalalah (makna yang jelas maknanya)
  • Al-dahir  ialah nash yang dapat menjukkan makna yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksud dari faktor luar tapi, yang dimaksud bukan asal dari redaksi katanya dan masih mengandung takwil.
  • An-nash ialah nash yang bentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkan kepada makna yang dimaksud oleh asal redaksi kata dan bisa menerima ta’wil.
  • Al-mufassar ialah bahasa nash itu sendiri sudah bisa menunjukkan kepada artinya yang sangat terinci, yang tidak memungkinkan ta’wil baginya.
  • Al-muhkam ialah sesuatu yang menunjukkan kepada artinya, yang tidak menerima pembatalan dan penggantinya karena penunjukannya sudah jelas dan sama sekali tidak mengandung ta’wil serta tidak menerima penghapusan (nasakh) pada masa turunnya nabi muhammad dan waktu kekosongan turunnya wahyu atau sesudahnya.
b. Ghair al-wadhih Dalalah (lafad yang tidak jelas maknanya)
Nash yang tidak jelas dalalahnya adalah nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud. Bahkan untuk memahami maksud dari padanya diperlukan faktor dari luar.
Para ulama’ ushul telah membagi nash yang tida jelas dalalahnya menjadi empat macam:
  • Al-khafi adalah lafad yang bisa menunjukkan kepada artinya yang jelas, tetapi dalam penerapan arti itu kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan suatu bentuk yang samar dan tidak jelas, sedangkan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidak helasan itu memerlukan upaya berfikir secara mendalam.
  • Al-musykil adalah lafad yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan kepada apa yang dimaksudkan. Akan tetapi harus ada qorinah (petunjuk) dari luar yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dari padanya.
  • Al-mujmal ialah lafad yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan kepada pengertian yang dimaksud dan tidak terdapat qorinah-qorinah lafad atau keadaan yang dapat menjelaskannya. Maka sebab itu, kesamaran di dalam al mujmal ini bersifad lafdhi bukan sifat yang baru datang.
  • Al-mutasyabih ialah yang bentuknya sendiri tidak menunjukkan pada arti yang dimaksud dan tidak ada qarinah-qarinah luar yang menjelaskannya. Sedangkan syara’ sudah mencukupkan begitu saja berdasarkan ilmu-Nya dan tidak menjelaskan-Nya.
c. Al- musytarak al-Dalalah
Al-musytarak al-Dalalah ialah lafad yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak dapat menunjukkan kepada artinya secara bergantian. Maksudnya ialah bahwa lafad itu bisa menunjukkan arti ini dan arti itu.
d. Lafad ‘am dan khas
  • Al ‘am ialah lafad yang menurut arti bahwasannya menunjukkan pada pencakupan smua satuan-satuan yang ada di dalam lafad itu tanoa menghitung ukuran tertentu dari satuan itu.
  • Al khas ialah lafad yang dibuat untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti: Muhammad atau satu jenis, seperti: tiga, sepuluh, seratus, satu kaum, satu masyarakat, sekumpulan, sekelompok dan lafad-lafad lain yang menunjukkan bilangan beberapa person tetapi tidak mencakup semua person-person itu.
e. Mutlaq dan muqayyad
  • Mutlaq adalah lafad yang menunjukkan kepada objeknya tanpa memperhatikan kepada satuan, jumlah atau sifatnya. Akan tetapi menunjukkan kepada kehendaknya.
  • Muqayyad adalah lafad yang menunjukkan kepada hakikat sesuatu yang dibatasi dengan sifat, keadaan, maksimalitas, syarat atau ungkapan umum yang dibatasi dengan batasan apa saja tanpa dihubungkan dengan bilangan.
f. Amar dan nahi
  • Amar adalah permintaan untuk melakukan suatu pekerjaan dari pihak yang berkuasa.
  • Nahi (larangan) adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan sesuatu perbuatan.

B. Metode Qiyasi (qiyas)
a. Definisi qiyas
Qiyas atau perbandingan sesuatu pada yang lain bersamaan illatnya menurut istilah agama, qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah disebabkan persamaan illat antara keduanya ( asal dan furu’).
Sedangkan menurut ulama’ ushul qiyas berarti penyamaran suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian yang lain yang ada nashnya mengenai hukum, yang nash telah menetapkan lantaran adanya persamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
Sesuai dengan ta’rif di atas, apabila ada sesuatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut satu cara dari cara-cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya adalah asa dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka hukum peristiwa yng tidak ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu. Sebab hukum itu tidak akan ada sekiranya tidak ada illatnya.
b. Kehujjahan qiyas
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa qiyas itu adalah hujjah syar’iyyah (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syaria’t. alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama’ dalam menetapkan kehujahan qiyas terdiri atas:
1) Dalil al-qur’an
Dalil-dalil al-qur’an yang mereka kemukakan sebagai alasan menetapkan kehujahan qiyas, ialah alqur’an surat an-nisa’ ayat 59. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada ornag-orang mukmin apabila aterjadi perselisihan pendapat dan peristiwa dalam alqur’an dan as-Sunnah tidak ada maka hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya
2) Dalil as-Sunnah
Hadis yang diriwayatkan Abu Daud bahwa bolehnya berijtihad, bila tida di dapat nash dari alqur’an maupun al-hadis, ijtihad itu tidak lain dari usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai ketetapan hukum. Sedangkan usaha-usaha itu dapat juga dijadikan dengan menganaogikan peristiwa yang tidak ada nasnya kepada peristiwa yang ada nasnya dengan memperhatikan persamaan illatnya (ini disebut mengqiyaskan)
3) Perbuatan dan perkataan sahabat
Para sahabat kerapkali berijtihad terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nasnya itu dengan peristiwa-peristiwa yang sudah ada nasnya. Umpamanya mereka mengqiyaskan kekhilafan dengan imamah shalat. Dalam peristiwa pembaitan mereka terhadap Abu Bakar ra. Untuk menjadi khalifah diqiyaskan kepada Nabi Muhammad SAW yang menyuruh Abu Bakar ra mengimami shalat, sebagai ganti pada waktu beliau sakit. Mereka berkata “Rasulullah SAW telah meridhai untuk urusan agama, maka kenapa kita tidak meridhai urusan keduniaan kita.
4) Dalil dan logika
Analisa yang logis yang digunakan untuk menetapkan kehujjahan qiyas adalah Allah SWT tidaklah menetapkan hukum bagi hambaNya sekiranya tidak untuk kemaslahatan hamba itu, apabila ada suatu peristiwa yang tidak ada nasnya akan tetapi ilatnya sesuai dengan illat suatu peristiwa yang sudah ada nasnya dan diduga keras pula dapat memberikan kemaslahatan kepada hambaNya. Dan nash-nash alqur’an juga as-sunnah itu adalah terbatas. Sdang kejadian-kejadian pada manusia tidak terbatas dan tidak berakhir dengan demikian qiyas merupakan sumber-sumber perundang-undangan yang dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan.
c. Rukun dan syarat qiyas
1) Rukun qiyas
a) Pokok: yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nasnya dan dijadikan tempar mengqiyaskan
b) Cabang: yaitu peristiwa yang tidak ada nasnya da periatiwa itulah yang dikehendaki untuk dipersamakan hukumnya dengan asalya.
c) Hukum asal: yaitu syara’ yang ditetapkan oleh suatu nas dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d) Illat: yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang asal, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pada cabang maka disamakanlah hukum cabang itu dengan peristiwa yang asal.
2) Syarat-syarat qiyas
  • Qiyas itu harus berupa sifat yang jelas, yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indera. Sebab qiyas itu gunanya untuk mengenal hukum yang akan diterangkan pada  cabangnya maka ia harus berupa sifat yang jelas dapat dilihat pada cabangnya.
  • Harus bersifat yang sudah pasti, yang artinya ia mempunyai hakikat yang nyata lagi tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat atau dengan sedikit perbedaan. Karena asas qiyas iru adalah mempersamakan illat hukum pada cabang dengan asalnya.
  • Itu harus sesuai dengan hikmah hukum.
  • Itu merupakan terdapat pada asal saja, jadi illat itu harus berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain masalah yang asal itu.
d. Masalikul illat (cara mengetahui illat)
  • Dengan nash itu sendiri; Apabila nash-nash dan as-sunnah telah menunjukkan bahwa illat hukumnya adalah sifat yang disebut dengan nas itu sendiri, maka sifat yang disebut itulah yang menjadi illat hukumnya. Dan illat yang demikian itu disebut illat mansuh ‘alaih.
  • Dengan ijma’; Apabila para mujtahid dalam suatu masa telah sepakat bahwa yang menjadi illat suatu hukum syara’ ialah suatu sifat, maka tetaplah sifat itu menjadi illat suatu hukum terseut secara ijma’.
  • Dengan as-sabru wat taqsim (meneliti dan memisahkan); Apabila datangnya syara’ perihal hukum suatu kejadian dan tidak didapati nas atau ijma’ yang menunjukkan illatnya, maka para mujtahid menempuh jalan ‘as-shabru wat-taqsim’ yakni meneliti sifat-sifat yang terdapat pada kejadian itu dan memilih diantara sifat-sifat yang patut dijadikan illat hukum.
e. Macam-macam qiyas
  • Qiyas aula, yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum yang disamakan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat yang menyamakannya (mulhaqbih).
  • Qiyas musawi, yakni qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaqnya adalah sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaqbih
  • Qiyas Dalalah, yaitu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum tetai tidak mewajibkan hukum padanya.
  • Qiyas syibhi, yaitu suatu qiyas yang mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada dua mulhaqbih. Akan tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaqbih yang mengandung banyak persamaan mulhaq.

C. Metode Istislahi
Metode Istislahi adalah metode istimbat hukum yang menggunakan maslahah sebagai dasar istimbat hukum. Maslahah adalah setiap sesuatu yang menjadi dasar pemeliharaan tujuan syara’ kemaslahatan agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan harta di dunia dan akhirat. Dengan kata lain adalah sesuatu yang fundamental yang harus memjadi landasan setiap hukum islam.
Maslahah sebagai dasar hukum Islam diketahui melalui informasi:
  • Nash (teks) dengan pendekatan istidlal bagi skriptualisme moderat. Tingkat validitasnya dapat dilihat pada korespondensi (kesesuaian) antar statemen nass dengan fakta.
  • Mawjudat dengan kekuatan akal khususnya melalui mekanisme silogisme sebagai hasil proses padu antara hiss (indra atau rasa), pengalaman dan penyelidikan terhadap mawjudat itu sendiri. Uji validitasnya dibuktikan dengan adanya koherensi (hubungan) dan konsistensi (keajengan) secara continue dan logis antara kemaslahatan yang diketahui dengan kemaslahatan yang ada sebelumnya.
Pengalaman batin (vision) seseorang secara pribadi melalui ilham kedalam hati melalui tahapan perjuangan pembersihan diri dalam ibadah. Dari perjuangan ini menimbulkan perasaan yang diyakini mengandung unsur kognitif. Kelaziman seorang mistikus mengetahui Maslahah sering tidak dideskripsikan kedalam bahasa yang logis dan lugas penekanan pengetahuan maslahah pada informasi fission dapat dilihat dari konsekuensi-konsekuensi praktis yang bermanfaat bagi kehidupan dan hidup seseorang tertentu yang mencarinya.


---------------------------------------
Miftahal Arifin, A.Faishol Haq, Ushul Fiqh, Surabaya:Citra Media, 1997
Abdul Wahab  Kholaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam:Ilmu Ushul Fiq, Jakarta: Rineka Cipta. 1993
Abu Zahra. Ushul fiq, Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999
M. Faisol Munif, “Maslahah Sebagai Dasar Istinbath Hukum Islam” dalam jurnal para media vol. IV