Wednesday, August 14, 2013

Qiyas


1. Pengertian Qiyas.
Secara etimologi, Qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membnandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Secara terminologi, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas (al-Quran atau as-Sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnya oleh nas, disebabkan adanya kesatuan ‘illat hukum antara keduanya.
Sedangkan Qiyas menurut istilah para ahli usul fiqh adalah:
a. Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi dengan sesuatu peristiwa lain yang dimaklumi karena samanya ‘illat hukumnya menurut pihak penetap.
b. Memindahkan hukum dari asal kepada cabang disebabkan satunya ‘illat yang tak bisa diketahui melalui pengertian bahasa saja.
c. Menyamakan sesuatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nas} hukum, sebab sama dalam ‘illat hukumnya.
Sedangkan menurut istilah agama, Qiyas adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada / telah ditetapkan oleh Kitab dan Sunnah, disebabkan sama ‘illat antara keduanya (asl dan far’u).
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa Qiyas adalah proses deduksi (menarik kesimpulan) dari nas dengan jalan analogi, untuk menetapkan hukum terhadap suatu masalah. Dengan demikian Qiyas bisa dipandang sebagai proses berfikir dalam rangka mengeluarkan hukum (istinbat), di samping itu Qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum. Untuk dapatnya melakukan Qiyas itu terdapat dua pokok yang diperlukan, yaitu:
a. Maqis ‘alaih = tempat mengqiyaskan.
b. Maqis = yang diqiyaskan.
2. Kehujjahan Qiyas
Dalam pandangan jumhur ulama, Qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang ke empat. Para ulama menetapkan Qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga ‘illat rasional.
a. Di antara ayat-ayat al-Quran yang digunakan sebagai dalil antara lain :
Firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 2
Artinya : “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Q.S. al-Hasyr : 2)
Kalimat yang menunjukkan Qiyas dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antara hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
b. Di antara as-Sunnah yang digunakan sebagai dalil antara lain :
Hadis Mu’adz bin Jabal yang artinya :”Ketika Rasulullah mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutuskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?” Mu’adz berkata, “Aku putuskan dengan Kitab Allah (al-Quran), bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasulullah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong.” Maka Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan.”
Yang menjadi Qiyas dalam hadis ini adalah kalimat “berijtihad dengan pendapatku”
Dan di antara hadis-hadis sahih disebutkan bahwa seringkali Rasulullah dalam beberapa kejadian yang diajukan kepada beliau dan tidak ada wahyu tentang hukum masalah itu, maka beliau mengambil dalil untuk hukumnya dengan jalan Qiyas. Perbuatan Rasul dalam hal yang bersifat umum ini adalah sebagai penetapan hukum syara’ bagi umatnya, karena tidak ada bukti yang menjelaskan kekhususannya. Sehingga Qiyas dalam masalah yang tidak ada nashnya adalah termasuk sunnah Rasul, dan Qiyas (yang dilakukan Rasul adalah tuntutan bagi umat Islam.
c. Perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa Qiyas adalah hujjah syara’. Mereka berijtihad tentang hukum peristiwa yang tidak ada nasnya dan mengqiyaskan sebagian hukum dengan sebagian lainnya. Mereka mengqiyaskan khilafah dengan imamah dalam shalat lalu mereka membai’at Abu Bakar dan mereka menjelaskan dasar Qiyas dengan perkataannya.
d. Adapun ‘illat rasional dalam menetapkan Qiyas di antaranya:
1) Allah mensyari’atkan hukum hanyalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan hambalah yang menjadi tujuan akhir dari penetapan suatu hukum. Apabila peristiwa yang tidak disebutkan nas, maka hikmah dan keadilan menuntut mempersamakan hukumnya dalam mewujudkan maslahat yang menjadi tujuan hukum.
2) Nas-nas al-Quran dan as-Sunnah terbatas dan terhingga, sedang peristiwa yang dihadapi manusia dan kebutuhannya tiada terbatas dan terhingga.
3) Qiyas adalah dalil yang didukung oleh jiwa yang sehat dan pemikiran yang benar yang dijadikan oleh para pemikir dalam merumuskan hukum-hukumnya.

3. Rukun dan Syarat Qiyas
Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi empat rukun, yaitu :
a. Asl (pokok), yaitu objek atau masalah yang sudah ada hukumnya, berdasarkan oleh ketetapan nas (al-Quran dan atau as-Sunnah).
b. Far’u (cabang), yaitu objek (masalah) yang akan ditentukan hukumnya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nas}.
c. ‘illat, yaitu sifat yang ,menjadi motif (alasan) dalam menentukan hukum.
d. Hukum al-Asl, yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh nas.
Adapun syarat Qiyas yang sesuai dengan rukun Qiyas adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat asl (pokok)
1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
2) Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’, bukan hukum akal atau hukum bahasa.
3) Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa, orang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada, apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (mentiadakannya). Tetapi puasanya tetap ada karena ada nas hadis, “Barang siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Bahwasanya Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhori dan Muslim). Berhubung dengan hadis tersebut, maka orang yang dipaksa tidak dapat diqiyaskan dngan orang yang lupa.
b. Syarat-syarat far’u (cabang)
1) Hukum cabang tidak lebih dulu adanya dari pada hukum pokok. Sebagaimana mengqiyaskan wudlu dengan tayammum dalam wajibnya niat, karena keduanya sama-sama taharah (suci).
2) Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul berkata : “Apabila datang nas, Qiyas menjadi batal”.
3) ‘illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan ‘illat yang terdapat pada pokok.
4) Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. Syarat-syarat ‘illat
1) ‘illat harus tetap berlaku. Manakala ada ‘illat, tentu ada hukum dan akan tidak ada hukum manakala ‘illat tidak ada.
2) ‘illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya ‘illat, tanpa menunggu kepada sesuatu yang lainnya, karena adanya ‘illat tersebut untuk kebaikan manusia.
3) ‘illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu. Misalnya berpengaruhnya ‘illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’.
4) ‘illat tidak berlawanan dengan nas. Apabila berlawanan dengan nas, maka naslah yang didahulukan.
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas itu dibagi menjadi:
a. Qiyas aula, yaitu suatu Qiyas yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq-bih). Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “uff” (cih, hus) kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23:
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah". (Q. S. Al-Isra’ : 23)
b. Qiyas musawwy, yaitu suatu Qiyas yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdapat pada mulh}aq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulh}aq-bih. Misalnya memakan harta benda anak yatim diqiyaskan dengan membakarnya. Membakar harta benda anak yatim mempunyai ‘illat hukum yang sama dengan memakan harta benda anak yatim, yakni sama merusakkan harta. Sedangkan makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa>’ ayat 10 :
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”. (Q. S. An-Nisa’ : 10)
c. Qiyas dalalah, yaitu suatu Qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam hal ini, imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati, lantaran diqiyaskan dengan haji, sebab menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
d. Qiyas syibhi, yaitu suatu Qiyas dimana mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq-bih, tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaq-bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya mengqiyaskan budak dengan orang merdeka, karena sama-sama manusia. Kemudian budak dapat pula diqiyaskan dengan harta benda, karena pada harta benda itu lebih banyak persamaannya dari pada manusia yang merdeka. Karena budak dapat dijual, diwariskan, diwaqafkan dan menjadi jaminan dalam suatu urusan.
e. Qiyas adwan, yaitu yang diqiyaskan (far’u) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat mengqiyaskan. Misalnya mengqiyaskan memakai perak bagi laki-laki kepada memakai emas.

----------------------------------------------------
A. Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta : Wijaya, Cet. XI, 1989
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Pustaka Amani, 2003
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemah. Semarang: CV. Toha Putra, 1971
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT Rajawali Pers, 1993
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Cet. II, 2004
Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama


No comments:

Post a Comment