Thursday, August 29, 2013

Riba Dalam Islam


1. Pengertian Riba
Menurut bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a. Bertambah (الزِّيَادَةُ), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b. Berkembang, berbunga (النَّامُ), karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan  uang atau lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
c. Berlebihan atau  menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah SWT:
وَتَرَى الأرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
Sedangkan dalam pengertian istilah, riba adalah sebagai berikut:
1) Menurut Hanabilah sebagaimana yang telah dikutib oleh Wahbah Az-Zuhaili mengartikan riba sebagai berikut:
وَهُوَ فِي الشَّرْعِ: الزِّياَدَةُ فِي اَشْيَاءَ مَخْصُوْصَةٍ
Riba menurut syara’ adalah tambahan dalam perkara-perkara tertentu.
2) Abdurrahman Al-Jaziri mengemukakan bahwa riba adalah penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang dipertukarkan tanpa ada ganti atas tambahan tadi.
3) Menurut Syaikh Muhammad Abduh, riba adalah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah suatu kelebihan tertentu dalam penukaran barang yang sejenis atau jual beli barter maupun dalam utang piutang  tanpa disertai imbalan dan penambahan itu disyatkan dalam perjanjian.

2. Dasar Hukum Riba
Riba adalah haram, berdasarkan al-qur’an, dan sunnah. Dalam al-qur’an dijelaskan dalam QS. Ali Imron ayat 130:
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Dasar hukum riba dari hadis:
عَنْ جاَبِرٍقَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ وَ قاَلَ (هُمْ سَوَاءٌ)
Dari Jabir ia berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, dan orang yang mewakilkannya, dan orang yang menulisnya dan dua saksinya, dan ia bersabda: “Mereka itu sama”. (HR. Muslim)

3. Macam-Macam Riba
Menurut jumhur ulama riba terbagi menjadi dua, yaitu riba fadl dan riba nasi’ah. Riba fadl adalah tambahan yang disyaratkan dalam tukar menukar barang yang sejenis (jual beli barter) tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, misalnya menukarkan gandum seberat 3 kilogram dengan gandum yang beratnya dua setengah kilogram. Riba fadl hukumnya haram berdasarkan hadis Nabi SAW:
وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الَذَّهَبُ بِا لذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَاْلبُرُّ بِاْلبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالْتَمْرُ بِالتَّمْرِ وَاْلمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ, فَاِذَااخْتَلَفَتْ هٰذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jagung dengan jagung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sepadan, sama dan tunai. Apabila kelompok barang-barang ini berbeda satu dengan lainnya, maka juallah dengan kehendakmu apabila jual belinya dilakukan dengan tunai. (HR. Muslim)
Dari hadis diatas, ada enam jenis barang yang termasuk kelompok ribawi, yaitu: emas, perak, gandum, jagung, kurma dan garam. Namun apabila dilihat dari illat dari keenam barang tersebut maka termasuk dalam kelompok ribawi ada dua macam, yaitu: barang-barang yang bisa ditakar dan barang-barang yang bisa ditimbang.
Dengan demikian, semua jenis barang yang bisa ditimbang atau ditakar termasuk dalam kelompok ribawi, apapun jenisnya. Oleh karena itulah, barang-barang seperti beras, gula, kopi, terigu dan sebagainya, termasuk barang-barang yang dalam penukarannya harus sama, tidak boleh ada kelebihan dan penyerahannya harus tunai tidak boleh utang.
Riba nasi’ah yaitu penambahan bersyarat yang diperoleh orang yang berpiutang dari orang yang berutang lantaran penangguhan. Riba nasi’ah dikenal dengan istilah riba jahiliyah, karena berasal dari kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah.
Illat dari riba nasi’ah adalah salah satu sifat dari illat riba fadl yaitu takaran atau timbangan, atau jenis yang sama. Maksudnya adalah dalam jual beli barter, baik sejenis maupun tidak sejenis, riba nasi’ah bisa terjadi, yaitu dengan cara jual beli barang sejenis dengan kelebihan salah satunya, yang pembayarannya ditunda.
Pada masa sekarang ini, praktik riba nasi’ah ini yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengambil keuntungan atau kelebihan atas pinjaman uang yang pengambilannya ditunda. Adapun riba fadl pada masa sekarang jarang ditemukan. Itulah sebabnya Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اُسَامَة:اَنَّ النَّبِىَ ص قاَ لَ  :لاَرِبَا اِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
Dari Usamah: Bahwa Nabi SAW bersabda : tidak ada riba kecuali  nasi’ah.

4. Hikmah Diharamkannya Riba
Di atas telah dikemukakan bahwa riba hukumnya haram. Adapun sebab dilarangnya riba karena riba menimbulkan kemudaratan yang besar bagi umat manusia. Kemudaratan tersebut antara lain:
a. Riba menyebabkan permusuhan antara individu yag satu dengan yang individu lain, dan menghilangkan jiwa tolong-menolong diantara mereka. Padahal semua agama terutama agama Islam sangat mendorong sikap tolong-menolong (ta’awun) dan mementingkan orang lain, serta melawan sifat egois dan mengeksploitasi orang lain.
b. Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras untuk mendapatkan harta, seperti benalu yang setiap saat mengisap orang lain. Padahal islam sangat mengagungkan kerja dan dan menghormati orang yang bekerja, serta menjadikan kerja sebagai salah satu bentuk usaha yang utama.
c. Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan di bidang ekonomi, dimana orang-orang kaya mengisap dan menindas orang-orang miskin.
----------------------------------------------
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II, Penerjemah Chatibul Umam dkk, judul asli al-Fiqh ‘Ala al-Mazahibil Al-Arba’ah, Jil. 6 , Jakarta: Darul Ulum Press, 1992
A. Hassan, Terjemah Bulugul Maram, Bangil: CV. Pustaka Tamam, 1991
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Hussein Bahreisy, Hadis Shahih Bukhori: Himpunan Hadis Pilihan, Surabaya: Al-Ikhas, 1996
Muhammad Bin Ali Asy-Syaukani, Terjemahan  Nail Al-Authar, Jilid 4, Penerjemah A. Qadir Hassan dkk, judul asli Nail al-Authar, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1993
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12,  Penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, judul asli Fiqh al-Sunnah, Jil. 12, Bandung:  PT. Alma’arif, 1987
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islami Wa Adillatuhu, Jil. 5, Penerjemah: Abdul Hayyie  al- Kattani, dkk, Jakarta: Gema Islami, 2011
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1993

Wednesday, August 28, 2013

Utang Piutang Dalam Islam (Qard)


1. Pengertian Utang Piutang
Utang piutang dalam istilah fikih disebut dengan qard. Secara etimologi qard berasal dari kata qaradha yang sinonimnya qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtarid).
Sedangkan pengertian qard secara istilah (terminologi) para ulama dan pakar berbeda pendapat dalam mendefinisikannya antara lain:
a. Menurut Hanafiyah
 اَلْقَرْضُ هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالِ مِثْلِيٍّ لِتَتَقَا ضَاهُ, اَوْ بِعِبَارَةٍ اُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مَخْصُوْصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Qard adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal misli untuk kemudian dibayar atau dohsikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qard adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal misli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimaya.
b. Menurut Hanabilah
 اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَهُ
Qard adalah memberikan harta kepada orang yang memafaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
c. Menurut Syafi’iyah
 اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِ الْمُقْرَض
Syafi’iyah berpendapat bahwa qard dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).
d. Menurut Sayid Sabiq qard adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqrid) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
e. Menurut  Malikiyah, qard adalah menyerahkan sesuatu yang bernilai harta kepada orang lain untuk mendapatkan manfaatnya, di mana harta yang diserahkan tadi tidak boleh diutangkan lagi dengan cara yang tidak halal, (dengan ketentuan) barang itu harus diganti pada waktu yang akan datang, dengan syarat gantinya tidak beda dengan yang diterima.
f. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, al-qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa utang piutang adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak, di mana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak ke dua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama. Pihak pertama disebut orang yang berpiutang, sedangkan pihak kedua disebut orang yang berutang.

2. Dasar Hukum Utang Piutang
a. Dasar hukum utang piutang dalam al-Qur’an
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.Ayat di atas berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qard (memberi utang) kepada orang lain dan barang siapa yang mau melakukan perbuatan qard tersebut, maka imbalannya adalah pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
b. Dasar hukum utang piutang dari hadis:
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنّ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَ قَتِهَا مَرَّةً
Dari Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: Tidak ada seorang muslim yang member pinjaman kepada muslim yang lain dua kali keuali seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah dan Ibn Hibban)
Hadis| di atas menjelaskan bahwa memberikan utang sebanyak dua kali, maka nilainya sama dengan memberikan sedekah sekali.
c. Dasar hukum utang piutang dari Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa utang piutang boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dan pertolongan orang lain. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatika segenap kebutuhan umatnya.

3. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Seperti halnya jual beli, rukun qard juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qard adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun qard adalah:
a. ‘Aqid, yaitu muqrid dan muqtarid
b. Ma’qud alaihi, yaitu uang atau barang
c. Shigat yaitu ijab dan qabul
1) Syarat ‘aqid
Untuk ‘aqid, baik muqrid maupun muqtarid disyaratkan harus orang dibolehan melakukan tasharruf atau memiliki ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qard tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur atau orang gila. Syafi’i memberikan persyaratan untuk muqrid, antara lain:
  • Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
  • Mukhtar (memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtarid disyaratkan harus memiliki Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti: dewasa, berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa ada paksaan.
2) Syarat ma’qud ‘alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menjadi objek akad dalam qard sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat) serta qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Atau dengan kata lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh juga dijadikan objek qard.
Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud ‘alaih hukumnya sah dalam mal misli, seperti barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang ditimbang (mauzunat), barang-barang yang dihitung (ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang bisa diukur dengan meteran (mazru’at). Sedangkan barang-barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya di pasaran (qimiyat) tidak boleh dijadikan objek qard, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.
3) Syarat dalam Shigat (Ijab dan Qabul)
Qard adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama halnya dengan akad jual beli dan hibah.
Shigat ijab bisa dengan menggunakan lafal qard (utang atau pinjam) dan salaf  (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan Engkau harus mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar. Penggunaan lafal salaf untuk qard  didasarkan kepada hadis Abu Rafi’:
وَعَنْ اَبِيْ رَافِعِ قَاَل: اِسْتَلَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَألِهِ وَسَلَّمَ بِكْرًا فَجَاَءَتْهُ إِبِلُ الصَّدَقَةِ فَاَمَرَنِي أَنْ اَقْضِيَ الرَّجُلَ بِكْرَهُ, فَقُلْتُ: إِنِّي لَمْ أَجِدْ فِي اْلإِبِلِ  إِلَّاجَمَلًا خِيَارًا رُبَاعِيًا فَقَالَ:أَعْطِهِ اِيَاهُ فَإِنَّ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ اَحْسَنَهُمْ قَضَاءً.
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berutang seekor unta perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk memebayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: saya tidak menemukan di dalam unta-unta hasil zakat itu kecuali unta pilihan yang berumur enam masuk tujuh tahun. Nabi kemudian bersabda: berikan saja kepadanya unta tersebut, karena sesungguhnya sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.”


4. Berakhirnya Utang Piutang
Utang piutang dinyatakan berakhir atau selesai apabila waktu yang disepakati telah tiba dan orang yang berutang telah mampu melunasi utangnya. Dalam keadaan yang demikian, maka seseorang yang berutang wajib menyegerahkan melunasi utang tersebut. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, dalam QS al-Isra’ ayat 34: 
Yang artinya: Dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa janji adalah suatu kewajiban yang yang harus disegerahkan untuk diwujudkan apabila telah mencapai waktunya, karena setiap janji akan dimintai pertanggungjawannya baik di dunia dan di akhirat. Mengenai masalah utang piutang, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut:
a. Pemberian perpanjangan waktu pelunasan utang
Apabila kondisi orang yang telah berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka orang yang berpiutang dianjurkan memberinya kelonggaran dengan menunggu sampai orang yang berpiutang mampu untuk membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 280:
Yang artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dalam hadis dijelaskan pula bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَرَّهُ اَنْ يُنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كَرْبِ يَوْمِ الْقِيَامَةَ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْيَضَعَ عَنْهُ
Barang siapa ingin diselamatkan oleh Allah dari kesusahan hari kiamat, hendaklah dia melapangkan orang yang dalam kesulitan atau membebaskan utangnya.
b. Sesuatu yang dikembalikan dalam  utang piutang
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, utang piutang baru berlaku dan mengikat apabila barang atau uang telah diterima. Apabila seseorang meminjam sejumlah uang dan ia telah menerimanya maka uang tersebut menjadi miliknya, dan ia wajib mengembalikan dengan sejumlah uang yang sama (misli), bukan uang yang diterimanya.
Menurut Malikiyah, utang piutang hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ariyah, berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad (ijab qabul), walaupun muqtarid belum menerima barangnya. Dalam hal ini muqtarid boleh mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut misli atau gair misli, apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang tersebut telah berubah maka muqtarid wajib mengembalikan barang yang sama.
Menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam utang piutang berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya menurut Syafi’iyah, muqtarid mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal misli. Apabila barangnya mal qimi maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya. Sedangkan menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditakar (makilat) dan yang ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqaha, dikembalikan dengan barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat berutang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.
Jadi dapat disimpulkan bahwa utang harus dibayar dengan barang yang sama. Hal ini sesuai dengan Hadis Rasulullah SAW, dimana beliau melarang pengembalian utang perak dengan emas.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
Rasulullah SAW melarang pengembalian utang perak dengan emas.
c. Melebihkan pembayaran
Melebihkan pembayaran dari jumlah utang yang diterima dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kelebihan yang tidak diperjanjikan
Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang tanpa adanya perjanjian sebelumnya, maka kelebihan tersebut boleh atau halal bagi yang berpiutang, dan merupakan kebaikan bagi yang berutang. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: اِسْتَقْرَضَ رَسُوْلُ اللّهِ ص م .سِنَّا, فَاَعْطَى سِنَّا خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ, وَ قَالَ: خِيَارُ كُمْ اَحَا سِنُكُمْ قَضَا ءً
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW. Pernah pinjam unta, kemudian ia membayar dengan unta yang lebih baik dari pada unta yang dipinjam, lalu ia bersabda: “Sebaik-baik diantara kamu ialah yang lebih baik dalam membayar pinjaman”. (HR. Ahmad, Tirmidhi dan Tirmidhi mengesahkannya).
2) Kelebihan yang diperjanjikan
Adapun kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh pihak yang berutang kepada pihak berpiutang didasarkan kepada perjanjian yang telah mereka sepakati, maka hal ini tidak boleh dan haram bagi yang berpiutang untuk menerima kelebihan itu.
Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِّبَا
Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang) adalah riba.


5. Utang Bersyarat
Utang bersyarat adalah suatu akad utang yang disertai dengan syarat-syarat tertentu. Dan syarat-syarat itu ditentukan oleh orang yang berpiutang, sedangkan orang yang berutang berkewajiban memenuhi syarat tersebut. Apabila orang yang berutang merasa keberatan dengan syarat yang diberikan oleh orang yang berpiutang, maka sebelum perjanjian itu disepakati, pihak yang berutang boleh membatalkannya.
Pada dasarnya pemberian syarat dalam perjanjian utang piutang adalah boleh, selama syarat itu tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat islam, misalnya mensyaratkan untuk mencatat utang tersebut atau memberikan barang jaminan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 282:
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Menurut ayat ini, dalam utang piutang diperlukan surat utang sebagai bukti untuk menghindari hal-hal yang mungkin timbul di kemudian hari.
Mengenai masalah utang bersyarat ini, keempat imam mazhab memberikan beberapa ketentuan, antara lain:
a. Hanafiyah memakhruhkan seseorang yang berutang sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh manfaat tertentu bilamana itu disyaratkan dalam akad. Misalnya seseorang mengutangkan gandum yang kotor kemudian mensyaratkan agar orang tersebut untuk membayarnya dengan gandum yang bersih..
b. Malikiyah berpendapat bahwa haram dalam utang piutang menentukan syarat untuk mendapatkan manfaat, misalnya mensyaratkan membayar utang dengan hewan yang sehat padahal hewan yang diutangkan lemah.
c. Hanabilah menyebutkan bahwa dalam utang piutang tidak boleh mensyaratkan sesuatu untuk mendapatkan manfaat tambahan bagi yang mengutangkan atau dengan syarat memberikan hadiah dan lain sebagainya.
d. Sedangkan Syafi’i memberikan beberapa ketentan dalam hal utang piutang bersyarat ini, yaitu:
1) Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk  mengambil manfaat yang digunakan untuk kepentingan orang yang berpiutang, maka dalam hal ini akad utangnya rusak dan hukum utangnya tidak sah atau haram.
2) Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil manfaat untuk kepentingan orang yang berutang, maka dalam hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah.
3) Apabila syarat yang diberikan hanya digunakan untuk kepercayaan, seperti disyaratkan bagi pihak yang berutang untuk memberikan sertifikat tanah sebagai jaminan utangnya kepada orang yang berpiutang, maka yang demikian ini dapat dibenarkan menurut hukum islam.
Dengan demikian utang piutang bersyarat dapat dibenarkan dalam hukum islam, apabila syarat tersebut tidak mengambil manfaat untuk kepentingan salah satu pihak, seperti mensyaratkan adanya barang jaminan yang dapat di pegang apabila terjadi utang piutang.

----------------------------------------------
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II, Penerjemah Chatibul Umam dkk, judul asli al-Fiqh ‘Ala al-Mazahibil Al-Arba’ah, Jil. 6, Jakarta: Darul Ulum Press, 1992
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010
Ali Fikri, Al-Muamalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, Mesir: Mushthafa Al-Babiy Al-Halabiy, 1356 H
Al-Hafid Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azim Al-munziri, Ringkasan Shahih Muslim, Bandung: Mizan, 2002.
Al-Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syarfu Nawawi-, Shahih Muslim bi Syarah, Beirut: Dar al-Khair, 1419 H/1998 M
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana,2003
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandng: CV. Pustaka Setia, 2000
Hafidz bin Abdullah, Muhammad bin Yazin al-Ghazali, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Dar al kutub al-ilmiah, Beirut, Lebanon, 2007 H / 275 M
Muhammad Bin Ali Asy-Syaukani, Terjemahan  Nail Al-Authar, Jilid 4, Penerjemah A. Qadir Hassan dkk, judul asli Nail al-Authar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,  Penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, judul asli Fiqh al-Sunnah, Jil. 12, Bandung: PT. Alma’arif, 1987
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2007
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie  al- Kattani, dkk, judul asli al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,  Jil. 5, Jakarta, Gema Islami, 2011
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Terjemah  Fatul Mu’in, Penerjemah: Aliy As’ad, judul asli Fatul Mu’in, Jil. 2, Yogyakarta: Menara Kudus,1979
Departemen Agama,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002

Monday, August 19, 2013

Sewa Menurut Hukum Islam (Ijarah)


Sewa menurut etimologi, ijarah adalah  (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut istilah dalam hukum Islam. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah
    Artinya:  “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asy-Syafi’iyah
  Artinya: “akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau  kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
Artinya: “menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”
Sewa menyewa artinya melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
  • Barang yang diambil  manfaatnya, harus masih tetap wujudnya sampai waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian,
  • Waktunya harus dapat diketahui dengan jelas, misalnya sehari, seminggu atau sebulan dan seterusnya,
  • Pekerjaan dan manfaat sewa-menyewa itu harus diketahui jenis, jumlah dan sifatnya serta sanggup menyerahkan. dan manfaat yang yang boleh disewakan adalah manfaat yang berharga,
  • Syarat ijab qabul serupa dengan syarat ijab qabul pada jual beli dengan tambahan menyebutkan masa waktu yang telah ditentukan.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

Sewa-menyewa disyariatkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil yang berdasarkan dari Al-Qur'an dan Al-Hadits serta ijma’ (kesepakatan para ulama).
a. Al-Qur’an
Artinya: "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (al-Qashash: 27)
Artinya: “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Ath-Thalaq: 6)
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Az-Zuhruf: 32)
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 233)
b. Al-Hadits
Artinya: Dan dari Abi Said Al Hudri Radiallahu Anha bahwasanya Nabi Sallahu Alaihi Wasallam berkata: siapa yang memperkerjakan buruh harus menetapkan berapa upahnya (HR Abd ar-Razzaq)
Artinya: Abu Hurairah ra. Mengatakan, Rasulullah saw. Bersabda: Allah Ta’ala berfirman: tiga macam orang yang menjadi lawanku pada hari kiamat:
1). Seorang yang memberi dengan menggunakan namaKu kemudian berkhianat
2). Seorang yang menjual orang merdeka lalu dia makan harganya
3). Dan orang yang memperkerjakan orang lain, kemudian setelah orang itu bekerja tidak dibayar ongkosnya (HR Muslim)
Artinya: Rasulullah saw. Berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya. (HR Bukhari)
c. ijma’ (kesepakatan para ulama).
Mengenai disyariatkan ijarah, semua umat bersepakat, tak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa), Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat, termasuk syarat-syarat ijarah, bukan rukun-rukunya, Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu:
a. Orang yang menyewa dan yang menyewakan, syaratnya adalah orang yang berakal, dengan kehendak sendiri, akan dipaksa, keadaan keduanya tidak bersifat mubadzir dan sudah dewasa.
b. Sewa, disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal: jenisnya, kadarnya, dan sifatnya. Misalnya menyewa rumah, harus jelas besarnya, letaknya, lama persewaanya, besar onglos persewaanya dan sebagainya.
c. Adanya ijab dan qabul. Sayarat-sayaratnya sama dengan syarat ijab qabul pada jual beli, hanya saja ijab qabul dalam ijarah harus menyebutkan waktu yang ditentukan

Sebagai sebuah transaksi umum. ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:
a. Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidain), Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh), menurut mereka, sewanya tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah. Namun mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz melakukan akad ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.
b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya untuk melakukan akad ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
c. Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan  berapa lama manfaat ditangan penyewa. Dalam masalah penentuan waktu sewa ini, ulama Syafi’iyah memberikan syarat yang ketat. Menurut mereka, apabila seorang menyewakan rumahnya selama satu ahun dengan harga sewa Rp. 150.000,- sebulan maka akad sewa menyewa batal, karena dalam akad seperti ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan harga sewa baru pula. Sedangkan kontrak rumah yang telah disepakati selama satu tahun itu, akadnya tidak diulangi setiap bulan. Oleh sebab itu, menurut mereka, akad sebenarnya belum ada, yang berarti ijarah pun batal (tidak ada). Disamping itu, menurut mereka, sewa menyewa dengan cara di atas, menunjukkan tenggang waktu sewa tidak jelas, apakah satu tahun atau satu bulan. Berbeda halnya jika rumah itu disewa dengan harga sewa Rp. 1.000.000,- setahun, maka akad seperti ini adalah sah, karena tenggang waktu sewa jelas dan harganya pun ditentukan untuk satu tahun. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad seperti itu adalah sah dan bersifat mengikat. Apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga Rp. 100.000,- sebulan, maka, menurut jumhur ulama, akadnya sah untuk bulan pertama, sedangkan untuk bulan selanjutnya apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima sewa seharga Rp. 100.000,- maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama, sebagaimana halnya dalam bai’ al mu’athah (jual beli tanpa ijab dan qabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli),
d. Obyek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak tercatat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya apabila seseorang menyewa rumah, maka rumah itu akan langsung ia terima kuncinya dan langsung boleh ia manfaatkan. Apabila rumah itu masih berada ditangan orang lain, maka akad ijarah hanya berlaku sejak rumah itu boleh diterima dan ditempati oleh penyewa kedua. Demikian juga halnya apabila atap rumah itu bocor dan sumurnya kering, sehingga membawa mudarat bagi penyewa. Dalam kaitan ini, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa pihak penyewa berhak memilih apakah akan melanjutkan akad itu atau membatalkannya.
e. Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka. Menurut mereka, obyek sewa menyewa dalam contoh di atas termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqh menyatakan:
Artinya: Sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh
f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa. Terkait dengan masalah ini juga, ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal menyewa/menggaji seseorang untuk menjadi mu’azin (yang bertugas mengumandangkan azan pada setiap waktu di suatu masjid), menggaji imam shalat, dan menggaji seseorang yang mengajarkan al-Qur’an. Ulama Hanafiyah  dan Hanabilah mengatakan tidak boleh atau haram hukumnya menggaji seseorang menjadi muazin, imam shalat, dan guru yang mengajarkan al-Qur’an, karena pekerjaan seperti ini, menurut mereka, termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri pada Allah), dan terhadap perbuatan taat seseorang tidak boleh menerima gaji. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari ‘Amr ibn al-‘Ash yang mengatakan:
Artinya: Apabila salah seoarang di antara kamu menjadikan muazin (di masjid), maka janganlah kamu minta upah atas azan itu. (HR at-Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, dan Nasa’i).
Akan tetapi, ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menyatakan bahwa boleh menerima gaji dalam mengajarkan al-Qur’an, karena mengajarkan al-Qur’an itu merupakan pekerjaan yang jelas. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw yang menjadikan hafalan al-Qur’an seseorang menjadi mahar, sebagaimana yang terdapat dalam sabda beliau yang berbunyi:
Artinya: Rasulullah saw menikahkan seorang lelaki dengan mahar ayat-ayat al-Qur’an yang ada (hafal) padanya. (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad ibn Hanbal).
g. Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian
h. Sewa dalam akad ijarah harus jelas tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa khamer dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai harta dalam Islam.
i. Ulama Hanafiyah mengatakan sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. Misalnya, dalam sewa menyewa rumah. Jika sewa rumah dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka ijarah seperti ini dibolehkan.

Akad ijarah akan berahir apabila tidak memenuhi beberapa kriteria diantaranya:
a. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berahir. Apabila yang disewa itu rumah, maka rumah itu dikembalikan pada pemiliknya
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad ijarah, meneurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak

--------------------------------------------------------
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang, Karya Toha Putra, 1978
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, Juz 3, Semarang, CV. Asy-syifa’, 1990
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 13, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Ibnu  Hajar al Asqalany, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Surabaya, al Hidayah, tt
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, Surabaya: Terbit Terang, 2005
Jalaludin as Suyuti, al- Asybah wa Nadhdor Jus 2, Bairut: Lebanon, tt
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

Wednesday, August 14, 2013

Qiyas


1. Pengertian Qiyas.
Secara etimologi, Qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membnandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Secara terminologi, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas (al-Quran atau as-Sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnya oleh nas, disebabkan adanya kesatuan ‘illat hukum antara keduanya.
Sedangkan Qiyas menurut istilah para ahli usul fiqh adalah:
a. Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi dengan sesuatu peristiwa lain yang dimaklumi karena samanya ‘illat hukumnya menurut pihak penetap.
b. Memindahkan hukum dari asal kepada cabang disebabkan satunya ‘illat yang tak bisa diketahui melalui pengertian bahasa saja.
c. Menyamakan sesuatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nas} hukum, sebab sama dalam ‘illat hukumnya.
Sedangkan menurut istilah agama, Qiyas adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada / telah ditetapkan oleh Kitab dan Sunnah, disebabkan sama ‘illat antara keduanya (asl dan far’u).
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa Qiyas adalah proses deduksi (menarik kesimpulan) dari nas dengan jalan analogi, untuk menetapkan hukum terhadap suatu masalah. Dengan demikian Qiyas bisa dipandang sebagai proses berfikir dalam rangka mengeluarkan hukum (istinbat), di samping itu Qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum. Untuk dapatnya melakukan Qiyas itu terdapat dua pokok yang diperlukan, yaitu:
a. Maqis ‘alaih = tempat mengqiyaskan.
b. Maqis = yang diqiyaskan.
2. Kehujjahan Qiyas
Dalam pandangan jumhur ulama, Qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang ke empat. Para ulama menetapkan Qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga ‘illat rasional.
a. Di antara ayat-ayat al-Quran yang digunakan sebagai dalil antara lain :
Firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 2
Artinya : “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Q.S. al-Hasyr : 2)
Kalimat yang menunjukkan Qiyas dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antara hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
b. Di antara as-Sunnah yang digunakan sebagai dalil antara lain :
Hadis Mu’adz bin Jabal yang artinya :”Ketika Rasulullah mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutuskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?” Mu’adz berkata, “Aku putuskan dengan Kitab Allah (al-Quran), bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasulullah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong.” Maka Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan.”
Yang menjadi Qiyas dalam hadis ini adalah kalimat “berijtihad dengan pendapatku”
Dan di antara hadis-hadis sahih disebutkan bahwa seringkali Rasulullah dalam beberapa kejadian yang diajukan kepada beliau dan tidak ada wahyu tentang hukum masalah itu, maka beliau mengambil dalil untuk hukumnya dengan jalan Qiyas. Perbuatan Rasul dalam hal yang bersifat umum ini adalah sebagai penetapan hukum syara’ bagi umatnya, karena tidak ada bukti yang menjelaskan kekhususannya. Sehingga Qiyas dalam masalah yang tidak ada nashnya adalah termasuk sunnah Rasul, dan Qiyas (yang dilakukan Rasul adalah tuntutan bagi umat Islam.
c. Perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa Qiyas adalah hujjah syara’. Mereka berijtihad tentang hukum peristiwa yang tidak ada nasnya dan mengqiyaskan sebagian hukum dengan sebagian lainnya. Mereka mengqiyaskan khilafah dengan imamah dalam shalat lalu mereka membai’at Abu Bakar dan mereka menjelaskan dasar Qiyas dengan perkataannya.
d. Adapun ‘illat rasional dalam menetapkan Qiyas di antaranya:
1) Allah mensyari’atkan hukum hanyalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan hambalah yang menjadi tujuan akhir dari penetapan suatu hukum. Apabila peristiwa yang tidak disebutkan nas, maka hikmah dan keadilan menuntut mempersamakan hukumnya dalam mewujudkan maslahat yang menjadi tujuan hukum.
2) Nas-nas al-Quran dan as-Sunnah terbatas dan terhingga, sedang peristiwa yang dihadapi manusia dan kebutuhannya tiada terbatas dan terhingga.
3) Qiyas adalah dalil yang didukung oleh jiwa yang sehat dan pemikiran yang benar yang dijadikan oleh para pemikir dalam merumuskan hukum-hukumnya.

3. Rukun dan Syarat Qiyas
Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi empat rukun, yaitu :
a. Asl (pokok), yaitu objek atau masalah yang sudah ada hukumnya, berdasarkan oleh ketetapan nas (al-Quran dan atau as-Sunnah).
b. Far’u (cabang), yaitu objek (masalah) yang akan ditentukan hukumnya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nas}.
c. ‘illat, yaitu sifat yang ,menjadi motif (alasan) dalam menentukan hukum.
d. Hukum al-Asl, yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh nas.
Adapun syarat Qiyas yang sesuai dengan rukun Qiyas adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat asl (pokok)
1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
2) Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’, bukan hukum akal atau hukum bahasa.
3) Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa, orang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada, apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (mentiadakannya). Tetapi puasanya tetap ada karena ada nas hadis, “Barang siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Bahwasanya Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhori dan Muslim). Berhubung dengan hadis tersebut, maka orang yang dipaksa tidak dapat diqiyaskan dngan orang yang lupa.
b. Syarat-syarat far’u (cabang)
1) Hukum cabang tidak lebih dulu adanya dari pada hukum pokok. Sebagaimana mengqiyaskan wudlu dengan tayammum dalam wajibnya niat, karena keduanya sama-sama taharah (suci).
2) Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul berkata : “Apabila datang nas, Qiyas menjadi batal”.
3) ‘illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan ‘illat yang terdapat pada pokok.
4) Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. Syarat-syarat ‘illat
1) ‘illat harus tetap berlaku. Manakala ada ‘illat, tentu ada hukum dan akan tidak ada hukum manakala ‘illat tidak ada.
2) ‘illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya ‘illat, tanpa menunggu kepada sesuatu yang lainnya, karena adanya ‘illat tersebut untuk kebaikan manusia.
3) ‘illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu. Misalnya berpengaruhnya ‘illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’.
4) ‘illat tidak berlawanan dengan nas. Apabila berlawanan dengan nas, maka naslah yang didahulukan.
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas itu dibagi menjadi:
a. Qiyas aula, yaitu suatu Qiyas yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq-bih). Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “uff” (cih, hus) kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23:
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah". (Q. S. Al-Isra’ : 23)
b. Qiyas musawwy, yaitu suatu Qiyas yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdapat pada mulh}aq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulh}aq-bih. Misalnya memakan harta benda anak yatim diqiyaskan dengan membakarnya. Membakar harta benda anak yatim mempunyai ‘illat hukum yang sama dengan memakan harta benda anak yatim, yakni sama merusakkan harta. Sedangkan makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa>’ ayat 10 :
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”. (Q. S. An-Nisa’ : 10)
c. Qiyas dalalah, yaitu suatu Qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam hal ini, imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati, lantaran diqiyaskan dengan haji, sebab menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
d. Qiyas syibhi, yaitu suatu Qiyas dimana mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq-bih, tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaq-bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya mengqiyaskan budak dengan orang merdeka, karena sama-sama manusia. Kemudian budak dapat pula diqiyaskan dengan harta benda, karena pada harta benda itu lebih banyak persamaannya dari pada manusia yang merdeka. Karena budak dapat dijual, diwariskan, diwaqafkan dan menjadi jaminan dalam suatu urusan.
e. Qiyas adwan, yaitu yang diqiyaskan (far’u) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat mengqiyaskan. Misalnya mengqiyaskan memakai perak bagi laki-laki kepada memakai emas.

----------------------------------------------------
A. Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta : Wijaya, Cet. XI, 1989
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Pustaka Amani, 2003
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemah. Semarang: CV. Toha Putra, 1971
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT Rajawali Pers, 1993
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Cet. II, 2004
Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama


Tuesday, August 6, 2013

Teori Judi Dalam Islam


1. Pengertian Judi
Istilah judi berasal dari perilaku masyarakat yang merupakan pekerjaan tidak baik dilakukan karena menggunakan jalan pintas untuk mendapat uang atau barang harga lainnya meskipun belum tentu menang.
Dalam Islam, hiburan dan permainan diperbolehkan, tetapi Islam juga mengharapkan setiap permainan yang memiliki efek untung dan rugi yang mengalami oleh si pemain seperti halnya perjudian.
Dalam tafsir al-Maragi, maysir secara bahasa berarti permainan dengan anak panah dalam segala sesuatu, kemudian diartikan dalam setiap perjudian.
Dalam tafsir al-Misbah, arti kata maysir adalah judi. Ia terambil dari akar kata yang berarti gampang. Perjudian dinamai maysir karena harta hasil perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa usaha, kecuali menggunakan undian yang dibarengi oleh faktor untung-untungan.
Judi artinya bertaruh, baik dengan mata uang maupun dengan benda. Dapat juga disebut sebagai suatu perbuatan mencari laba yang dilakukan dengan jalan untung-untungan, yaitu dengan jalan menerka dan mensyaratkan pembayaran lebih dahulu. Kalau terkaannya benar maka beruntunglah orang yang menerkanya. Akan tetapi kalau tidak benar maka hilanglah uang pembayaran itu.
Drs. H. Masyhur dalam bukunya “Membina Moral Akhlak” menjelaskan bahwa judi (maysir) adalah setiap permainan yang memakai taruhan dari seluruh pemain (si menang dan si kalah).
Sedangkan dalam buku “Patologi Sosial”, dijelaskan bahwa perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap berharga dengan menyadari adanya resiko dan harapan tertentu pada peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan, dan kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya.
Menurut undang-undang hukum pidana pasal 303 ayat 3, perjudian adalah permainan yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa judi merupakan pekerjaan yang berunsur taruhan dalam setiap permainan atau pertandingan, sehingga kalah dan menang adalah konsekuensi yang harus diterima.
Pada zaman Jahiliyah, perjudian dilakukan dengan jalan mengisi qodah dengan daging unta atau kambing yang disembelih atas nama bersama (peserta) untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Qodah (kotak) tersebut berjumlah sepuluh, selain itu ada azlam (anak panah) dan aqlam (pena-pena). Di antara sepuluh qodah ini nama-namanya adalah Al-Faz, At-Tau’am, Ar-Raqib, Al-Hils, Al-Musbil, Al-Mu’alla, An-Nafis, Al-Manih, As-Safih, dan Al-Waqd. Qodah pertama hingga nomor tujuh masing-masing mempunyai bagian yang sudah diketahui, sedang qodah kedelapan hingga sepuluh tidak mempunyai bagian (blanko).
Mereka memasukkan semua azlam dan aqlam ke dalam qodah yang dipegang oleh seseorang yang dianggap adil, kemudian mengocoknya. Setelah itu memasukkan tangannya ke dalam qodah tadi dan mengambil satu buah atas nama seseorang yang ikut memasang taruhan, demikianlah seterusnya. Barangsiapa mendapatkan buah yang ada bagiannya, maka ia berhak mengambil bagian yang telah ditentukan, dan bagi yang tidak memperoleh buah yang ada bagiannya, ia harus membayar unta atau kambing yang telah disembelih tersebut.
2. Bentuk-bentuk Perjudian
Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang sebenarnya telah terjadi sejak beribu ribu tahun yang lalu. Barang siapa yang menang akan mendapatkan hadiah dan permainan secara kecil-kecilan bisa dikatakan judi karena di dalamnya sudah mengandung unsur perjudian dan ada unsur pertaruhan.
Beberapa jenis perjudian yang berkembang hingga saat ini :
a. Roulet. Caranya ialah mempertaruhkan uang pada salah satu 3 angka dan 2 angka tambahan, bila tebakannya benar, maka hadiahnya 36 kali uang taruhan. Jadi dalam waktu kurang lebih 2 menit modal berlipat 36 kali.
b. Keno. Alatnya seperti pengocok angka pada nalo dan lotto, yang dilakukan secara elektronik, terbuat dari plastik tembus cahaya. Sedangkan angka yang ditebak ialah 1 sampai 80.
c. Black Jack atau lebih dikenal dengan selikuran. Seorang Bandar melayani beberapa penjudi. Bila kartu sang bandar paling tinggi jumlah angkanya, maka penjudi kehilangan uang taruhannya, begitu pula sebaliknya. Umumnya bandar kalah terhadap satu atau dua orang penjudi.
d. Remi. Permainan yang memakai kartu, adapun pola permainannya bermcaam-macam bentuk dan caranya biasa orang menyebutnya tujuh kelaper, kyu-kyu dan sebagainya.
e. Kemudian permainan yang lebih modern saat ini, seperti dindong, play station, dan billiard. Dari permainan ini semuanya mempertaruhkan uang meskipun ada yang menyatakan permainan ini tidak merupakan judi.
Dari berbagai permainan diatas semuanya bisa diaggap perjudian, karena permainan tersebut sifanya untung-untungan dan mempertaruhkan uang.
3. Hukum Perjudian
Perbuatan judi itu diharamkan dan hasil yang diperoleh dari perbuatan judi pun dilarang.
a. Dalam Al-Qur’an
Terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang berbicara tentang diharamkannya judi, di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia”. (Q.S. al-Ba>qarah : 219)
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Ma>idah : 90)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa judi itu dilarang, karena lebih banyak mad{aratnya daripada manfaatnya.
b.    Dalam as-Sunnah
Dalam sabda Rasulullah disebutkan: yang artinya: “Dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: bahwa barang siapa bermain dadu maka dia seperti mencelupkan tangannya ke dalam daging babi dan darahnya.”
Sabda Rasulullah: yang artinya: “Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: bahwa barang siapa main dengan dadu maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya”

4. Bahaya Judi
Adapun bahaya yang ditimbulkan akibat permainan judi di antaranya:
a. Dapat menimbulkan permusuhan antara sesama pemain judi.
b. Menghalangi pelakunya untuk berz\ikir kepada Allah dan s}alat.
c. Merusak akhlak, karena membiasakan seseorang berlaku malas dengan mencari rizeki melalui cara gambling (untung-untungan) dan menjauhkan seseorang untuk melakukan karya-karya positif seperti meningkatkan pertanian, perindustrian dan perdagangan yang merupakan tulang punggung pembangunan negara.
d. Menghancurkan rumah tangga dan melenyapkan harta benda secara mendadak akibat kekalahan di meja judi.
e. Kondisi mental individu menjadi ceroboh, malas, mudah berspekulasi, cepat mengambil resiko tanpa pertimbangan.
f. Energi dan pikiran jadi berkurang karena sehari-hari didera oleh nafsu judi dan kerasukan ingin menang dalam waktu pendek.
g. Pikiran menjadi kacau, sebab selalu digoda oleh harapan tidak menentu.
h. Pekerjaan menjadi terlantar, karena segenap minatnya tercurah pada keasyikan berjudi.
i. Hatinya jadi sangat rapuh, mudah tersinggung dan cepat marah, bahkan sering eksplosif meledak-ledak secara membabi buta.
j. Terdorong melakukan perbuatan kriminal, dimana mencari modal untuk memuaskan nafsu judinya yang tidak terkendali itu, berani mencuri, menjambret, menodong, merampok, menggelapkan dan membunuh orang untuk mendapatkan modal guna berjudi. Sebagai akibatnya kriminalitas naik dengan drastis dan keimanan menjadi sangat rapuh.
--------------------------------------------
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz 2, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cet II, 1993
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz 7, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cet II, 1993
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemah. Semarang: CV. Toha Putra, 1971
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud dalam Maktabas Syamilah
Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Maktabas Syamilah
Kartini, Kartono, Patologi Sosial, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Juz 1, Jakarta:Lentera Hati, 2002
Mas’ud Ibnu dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i II, Bandung : CV Pustaka Setia, Cet. II, 2007